DESA SIDOMULYO KECAMATAN CANDIMULYO KABUPATEN MAGELANG

Kamis, 31 Januari 2013

Seni Budaya Jathilan

      Jathilan adalah kesenian jaran kepang yang berasal dari wilayah Jawa Tengah. Kesenian jathilan menyatukan gerakan tari dan unsur magis. Kesenian ini sering pula disebut dengan jaran dor di beberapa kota lainnya di luar Jawa Tengah. Jathilan merupakan kesenian yang menyatukan antara untur gerakan tari dengan magis. Kesenian yang juga sering disebut dengan nama jaran kepang atau jaran dor ini dapat dijumpai di desa-desa di Jawa, tak hanya di Jogja. Kesenian ini memang berkembang pesat di Yogyakarta dan sekitarnya seperti Magelang, Klaten dan Kulonprogo. Sama seperti jaran kepang dari wilayah Jawa Timur, jaran kepang ini dibuat dengan menggunakan anyaman bambu yang dibentuk menyerupai kuda. Pertunjukan ini dilakukan siang atau sore hari oleh sekelompok seniman yang terdiri oleh penari dan penggamel (pemusik).
         Pada awal perkembangannya, satu kelompok penari jathilan terdiri dari dua macam, yakni penari kuda dan pria yang menggunakan cemeti. Namun seni jathilan yang dimainkan pada hari ini apalagi yang digunakan sebagai pertunjukan resmi telah mengadopsi berbagai perubahan yang mendasar, utamanya dalam hal kostum, jumlah penari maupun detil gerakannya. Jalan cerita dalam seni jathilan merefleksikan berbagai macam problem dalam hubungan antara masyarakat kelas atas dan kaum pekerja. Kelas pekerja diwakili oleh penari kuda yang digambarkan tanpa aturan, tak berhenti bergerak. Gerakan itu antara lain pacak golu (kepala bergerak ke kiri dan kanan), siring (bergeser ke semping dengan setengah berlari, njondil (melompat), berguling bahkan hingga sampai kerasukan. Di sekitarnya, pria dengan cemeti mengawasi segala tindakan para kuda yang digambarkan sebagai tokoh yang sedikit jumlahnya, tidak urakan dan memiliki otoritas. Kesan ini dimunculkan dari tata rias dan busana yang digunakan yang didominasi warna merah dan hitam. Mereka terus berputar diantara para kuda dan sesekali melecutkan cemeti untuk memperingatkan para kuda.
         Pagelaran tari jathilan dimulai dengan tari-tarian. Para penari akan kerasukan roh halus sehingga hampir tidak sadar dengan apa yang mereka lakukan. Di saat para penari bergerak mengikuti irama musik dari jenis alat musik jenis alat gamelan seperti saron, kendang, dan gong ini, terdapat pemain lain yang mengawasi dengan memegang pecut atau cemeti. Pada zaman dahulu, jathilan merupakan sebuah tarian ritual untuk memanggil roh kuda dan meminta keamanan desa serta keberhasilan panen. Dalam filosofi Jawa, kuda melambangkan kekuatan, kepatuhan dan sikap pelayanan dari kelas pekerja. Inilah yang menginspirasi seluruh pertunjukan jathilan yang menempatkan penari kuda-kudaan sebagai pusat perhatian. Penari ini seringkali melakukan atraksi-atraksi berbahaya yang tidak boleh ditiru, yakni memakan benda-benda tajam seperti silet, pecahan kaca atau lampu seperti tanpa merasakan kesakitan. Bahkan ketika mereka dicemeti atau dicambuk pun tidak merasakan sakit dan tidak terlihat memar atau tergores seperti pada umumnya orang yang dicambuk langsung pada kulit yang terbuka.
       Sebagai tanda bahwa kesenian ini berasal dan berkembang dari masyarakat kelas bawah adalah adanya kesan minimal dalam kelompok musik pengiringnya. Jika diperhatikan dengan teliti, bunyi yang dihasilkan terasa datar dan monoton. Memang ini bukan tanpa maksud, namun ingin melambangkan keseharian kaum pekerja kelas bawah yang penuh dengan rutinitas. Selain itu juga untuk meningkatkan kesan magis yang kental. Pada akhir pertunjukan, alunan gamelan akan kembali pada tempo semula yang kemudian pria bercemeti memainkan fungsinya sebagai penyembuh. Para penari kuda yang kesurupan akan didekap, dibacakan mantra dan disembur dengan air. Si penari kemudian sadar kembali seolah tidak tahu kegilaan apa yang mereka lakukan sebelumnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar